Urgensi Institusional: Apakah perlu dibentuk Lembaga Ad Hoc atau badan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana banjir Sumatera?
BAB I
Pendahuluan: Krisis di Ambang Batas Kapasitas Negara
Bencana hidrometeorologi yang melanda Pulau Sumatera pada penghujung tahun 2024 hingga awal 2025 bukan sekadar anomali cuaca; peristiwa ini merupakan manifestasi dari krisis ekologis sistemik yang bertemu dengan kerentanan infrastruktur dan tata kelola kebencanaan yang masih terfragmentasi. Meliputi tiga provinsi strategis—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—bencana ini telah merenggut lebih dari seribu nyawa, meluluhlantakkan ratusan ribu hunian, dan melumpuhkan sendi-sendi ekonomi regional dengan kerugian yang ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah. Skala kehancuran ini tidak hanya menuntut respons tanggap darurat yang cepat, tetapi juga memaksa kita untuk meninjau ulang arsitektur kelembagaan penanggulangan bencana di Indonesia. Pertanyaan mendasar yang muncul di tengah puing-puing kehancuran ini adalah: Apakah mekanisme birokrasi standar yang ada saat ini memadai untuk mengelola pemulihan jangka panjang, atau apakah situasi ini menuntut intervensi luar biasa melalui pembentukan Lembaga Ad Hoc atau Badan Otorita Rehabilitasi dan Rekonstruksi?
Laporan ini disusun sebagai sebuah kajian mendalam dan opini ahli yang berargumen bahwa pendekatan business-as-usual—yang mengandalkan koordinasi lintas kementerian di bawah kerangka Satuan Tugas (Satgas) konvensional—tidak akan cukup untuk menangani kompleksitas bencana Sumatera. Dengan menganalisis data kerusakan yang masif, ketimpangan kapasitas fiskal daerah, serta preseden sejarah dari keberhasilan BRR Aceh-Nias dibandingkan dengan stagnasi pemulihan di Palu dan Lombok, kajian ini menegaskan bahwa pembentukan badan khusus dengan kewenangan eksekutif tunggal adalah imperatif mutlak. Tanpa lembaga yang memiliki otoritas khusus untuk memotong rantai birokrasi, mengintegrasikan perencanaan lintas provinsi, dan mengeksekusi anggaran secara fleksibel, upaya pemulihan Sumatera berisiko terjebak dalam "lembah kematian" birokrasi, meninggalkan masyarakat dalam kerentanan yang berkepanjangan.
1.1 Latar Belakang: Eskalasi Bencana Hidrometeorologi
Indonesia, yang berada di garis depan krisis iklim global, menghadapi peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan dini mengenai potensi curah hujan ekstrem yang diprediksi berlangsung hingga awal 2026, menempatkan wilayah Sumatera dalam status waspada tinggi.
Dalam konteks ini, respons pemerintah pusat yang saat ini masih enggan menetapkan status Bencana Nasional dan lebih memilih pendekatan "terkendali" melalui kementerian teknis
1.2 Tujuan dan Metodologi Kajian
Tujuan utama dari laporan ini adalah untuk memberikan landasan argumentatif bagi pembentukan Badan Ad Hoc Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumatera. Melalui pendekatan kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif dari lapangan, laporan ini akan:
Membedah Anatomi Kerusakan: Menganalisis data korban jiwa, kerusakan infrastruktur perumahan, dan fasilitas publik untuk menunjukkan bahwa beban kerja rekonstruksi melampaui kapasitas normal kementerian teknis.
Evaluasi Kerangka Hukum: Menilai keterbatasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam menangani mega-disaster yang bersifat lintas provinsi.
Studi Komparatif Institusional: Membandingkan efektivitas BRR Aceh-Nias (2005-2009) dengan Satgas Rehabilitasi di Palu, Lombok, dan Cianjur, untuk menarik pelajaran mengenai apa yang berhasil dan apa yang gagal.
Analisis Ekonomi dan Ekologi: Menghitung dampak ekonomi makro dan urgensi perbaikan ekologis yang membutuhkan otoritas lintas sektoral yang kuat.
BAB II
Anatomi Bencana: Mengapa Pendekatan Standar Tidak Relevan?
Untuk memahami mengapa sebuah lembaga khusus diperlukan, kita harus terlebih dahulu mengakui skala kehancuran yang terjadi. Bencana ini bukan sekadar genangan air yang akan surut dalam hitungan hari; ini adalah penghancuran struktural terhadap aset fisik dan sosial masyarakat di 52 kabupaten/kota.
2.1 Analisis Korban Jiwa dan Krisis Kemanusiaan
Angka kematian adalah indikator paling brutal dari keparahan bencana ini. Hingga pertengahan Desember 2025, BNPB mencatat jumlah korban meninggal dunia telah mencapai 1.030 jiwa, dengan 206 orang masih dinyatakan hilang.
Provinsi Aceh: Menjadi wilayah dengan fatalitas tertinggi, mencatat 431 kematian.
6 Kabupaten Aceh Utara dan sekitarnya menjadi titik nol kehancuran, di mana infrastruktur desa tersapu bersih oleh air bah.Sumatera Utara: Mencatat 355 korban jiwa, dengan Kabupaten Tapanuli Tengah mengalami dampak parah.
6 Sumatera Barat: Meskipun jumlah rumah rusak lebih sedikit dibanding Aceh, angka kematian tetap tinggi mencapai 244 jiwa. Kabupaten Agam mencatat angka kematian tunggal tertinggi per kabupaten dengan 184 jiwa, menunjukkan konsentrasi kehancuran yang sangat spesifik di lembah-lembah sungai vulkanik.
6
Tingginya angka korban hilang (206 orang) mengindikasikan bahwa banyak jenazah tertimbun material longsor atau hanyut ke laut, yang memerlukan operasi pencarian dan penyelamatan (SAR) yang berkepanjangan serta identifikasi forensik (DVI) yang rumit. Penanganan trauma (trauma healing) bagi keluarga korban dan ratusan ribu pengungsi membutuhkan koordinasi layanan sosial dan kesehatan yang terpadu, yang sering kali terabaikan dalam struktur Satgas fisik-sentris.
2.2 Skala Kerusakan Infrastruktur Hunian
Inti dari tantangan rekonstruksi adalah pemulihan hunian. Data BNPB per Desember 2025 menunjukkan angka yang mencengangkan: 186.488 unit rumah rusak.
Tabel 1: Distribusi Kerusakan Sektor Perumahan di Tiga Provinsi
Sumber Data: Diolah dari Laporan BNPB
| Provinsi | Rusak Berat (RB) | Rusak Sedang (RS) | Rusak Ringan (RR) | Total Kerusakan | Keterangan |
| Aceh | 36.328 | 22.951 | 46.779 | 106.058 | Kerusakan terparah secara volume. |
| Sumatera Utara | 5.158 | 3.899 | 19.651 | 28.708 | Termasuk 1.068 unit rumah hilang/hanyut. |
| Sumatera Barat | 2.559 | 2.959 | 6.933 | 12.451 | Konsentrasi kerusakan berat di jalur lahar dingin/banjir bandang. |
| TOTAL | 44.045 | 29.809 | 73.363 | ~147.217* | *Data dinamis, total kerusakan agregat mencapai 186.488 menurut update terakhir. |
Implikasi dari data ini sangat krusial. Membangun kembali atau memperbaiki 186.000 rumah bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan dengan mekanisme "Dana Stimulan" reguler yang dikelola oleh BPBD kabupaten/kota.
Beban Verifikasi: Setiap satu unit rumah memerlukan verifikasi teknis by name by address (BNBA) untuk menentukan kategori kerusakan (RB/RS/RR) guna pencairan dana bantuan. Dalam kasus Gempa Cianjur (2022) yang "hanya" melibatkan ~60.000 rumah, proses verifikasi memakan waktu berbulan-bulan hingga tahunan, menyebabkan dana mengendap di bank.
9 Dengan volume tiga kali lipat di Sumatera, risiko kemacetan administrasi sangat tinggi jika tidak ada badan khusus yang memobilisasi ribuan verifikator independen.Kebutuhan Lahan Relokasi: Puluhan ribu rumah yang berada di zona merah (sempadan sungai, lereng rawan longsor) tidak mungkin dibangun kembali di lokasi semula (in-situ). Mereka membutuhkan relokasi ke Hunian Tetap (Huntap). Mencari lahan relokasi yang aman, membebaskannya dari status kawasan hutan atau tanah adat, dan membangun infrastruktur dasar (jalan, air, listrik) adalah proses yang sangat kompleks. Di Palu, kegagalan penyediaan lahan adalah penyebab utama keterlambatan Huntap selama bertahun-tahun.
10 Satgas biasa di bawah PUPR sering kali tidak memiliki wewenang untuk memaksa pemerintah daerah atau BPN mempercepat pelepasan tanah.
2.3 Penghancuran Aset Publik dan Warisan Budaya
Selain perumahan, bencana ini telah menghancurkan jaring pengaman sosial dan identitas budaya masyarakat. Sekitar 1.600 fasilitas umum terdampak, termasuk:
Pendidikan: 967 fasilitas pendidikan rusak, mengancam lost generation bagi anak-anak yang tidak bisa bersekolah dalam waktu lama.
6 Kesehatan: 219 fasilitas kesehatan rusak, melumpuhkan pelayanan medis pasca-bencana.
6 Infrastruktur Konektivitas: 145 jembatan putus, mengisolasi desa-desa dan menghambat distribusi material rekonstruksi.
6 Warisan Budaya: Menteri Kebudayaan Fadli Zon melaporkan setidaknya 70 situs budaya, termasuk masjid tua dan makam bersejarah, terdampak bencana.
11 Restorasi situs cagar budaya membutuhkan keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh kontraktor sipil biasa, menuntut koordinasi antara Kementerian PU dan Kementerian Kebudayaan yang sering kali birokratis.
2.4 Dampak Ekonomi dan Kegagalan Pasar Asuransi
Bencana ini bukan hanya krisis kemanusiaan, tetapi juga krisis ekonomi makro bagi wilayah Barat Indonesia. Estimasi kerugian ekonomi sangat bervariasi namun mengarah pada angka yang fantastis.
Valuasi Kerugian: Lembaga think tank Celios memproyeksikan kerugian ekonomi total (termasuk opportunity cost) mencapai Rp 68,67 triliun.
12 Estimasi lain dari asosiasi asuransi menyebut angka Rp 51 triliun.14 Gap Proteksi (Protection Gap): Dari total kerugian Rp 51 triliun, klaim asuransi yang diperkirakan cair hanya sekitar Rp 567 miliar.
14 Ini menunjukkan bahwa 99% beban pemulihan ekonomi jatuh pada pundak korban (yang sudah miskin) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).Implikasi Fiskal: Tanpa asuransi, negara harus menanggung biaya rekonstruksi. Mengelola dana puluhan triliun rupiah melalui mekanisme DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) kementerian yang tersebar rawan terhadap kebocoran, duplikasi anggaran, dan inefisiensi. Sebuah Badan Ad Hoc dengan sistem pengelolaan keuangan satu pintu (trust fund) terbukti lebih akuntabel dan efisien dalam mengelola dana publik maupun hibah internasional, seperti yang ditunjukkan oleh BRR Aceh-Nias.
BAB III
Kegagalan Struktural dan Kerangka Hukum yang Kaku
Pemerintah pusat, melalui Presiden Prabowo Subianto, telah secara eksplisit menolak penetapan status "Bencana Nasional".
3.1 Polemik Status Bencana Nasional: Politik vs. Realitas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengatur kriteria penetapan status bencana nasional (jumlah korban, kerugian harta benda, cakupan wilayah, dan dampak fungsi pemerintahan).
Argumen Pemerintah: Pemerintah berdalih bahwa penetapan status bencana nasional akan menjadi sinyal negatif bagi investor dan pariwisata, serta bahwa mekanisme bantuan pusat tetap bisa mengalir tanpa status tersebut.
15 Presiden menekankan efisiensi anggaran dan menghindari "teriak-teriak" politik.4 Kritik Ombudsman dan Pakar: Ombudsman RI dan pengamat kebijakan publik menilai penolakan ini menghambat fleksibilitas. Tanpa status nasional, pemerintah daerah harus menanggung beban administrasi yang berat. Di Palu dan Lombok, ketiadaan otoritas pusat yang penuh menyebabkan pemerintah daerah saling lempar tanggung jawab dengan pusat terkait penyediaan lahan Huntap.
17 Argumen bahwa "Pemda masih berfungsi" adalah teknis semata; secara substansi, Pemda di 52 kabupaten/kota tersebut lumpuh secara fiskal untuk menangani rekonstruksi senilai triliunan rupiah.
3.2 Keterbatasan UU No. 24 Tahun 2007 dalam Rehabilitasi
Meskipun UU 24/2007 adalah lompatan maju dari paradigma lama, undang-undang ini memiliki kelemahan dalam fase pasca-bencana (Rehab-Rekon).
Peran BNPB: BNPB memiliki fungsi komando saat Tanggap Darurat. Namun, saat masuk fase Rehabilitasi dan Rekonstruksi, peran BNPB menyusut menjadi koordinator, sementara eksekusi proyek kembali ke kementerian teknis (PUPR, Kemensos, Kemenkes, dll).
18 Fragmentasi Sektoral: Akibatnya, pembangunan rumah dikerjakan PUPR, pemulihan ekonomi oleh Kemenkop UKM, dan perbaikan sekolah oleh Kemendikbud. Sering kali terjadi ketidaksinkronan: rumah dibangun, tapi air bersih (PDAM) belum masuk, atau sekolah dibangun tapi akses jalan belum diperbaiki. Tidak ada satu "Dirijen" yang memiliki kuasa penuh untuk memaksa kementerian lain mengikuti satu master plan.
3.3 Birokrasi Dana Stimulan: Pelajaran Pahit dari Masa Lalu
Mekanisme penyaluran bantuan perumahan saat ini (Dana Tunggu Hunian/Stimulan) sangat birokratis.
Proses Berbelit: Dana dari Kementerian Keuangan masuk ke BNPB -> BPBD Kabupaten -> Rekening Masyarakat (Pokmas). Setiap tahap memerlukan Surat Keputusan (SK) dan verifikasi berlapis.
Studi Kasus Cianjur & Palu: Di Cianjur, pencairan dana stimulan tersendat karena ketatnya verifikasi perbankan dan perubahan data kerusakan yang dinamis.
9 Di Palu, ribuan korban masih belum menerima hak mereka bertahun-tahun pasca bencana karena masalah administrasi kependudukan dan tanah.20 Aplikasi di Sumatera: Dengan 186.000 rumah rusak di Sumatera, menerapkan mekanisme birokrasi yang sama adalah resep untuk kegagalan. Diperlukan otoritas yang bisa memotong jalur birokrasi ini, misalnya dengan sistem block grant atau kontrak langsung (turnkey) untuk pembangunan massal, yang hanya bisa dilakukan jika ada landasan hukum khusus (Perpres/Perppu) yang diberikan kepada Badan Ad Hoc.
BAB IV
Studi Komparatif: Menimbang Model Kelembagaan
Untuk menentukan apakah Badan Ad Hoc diperlukan, kita harus melihat bukti empiris dari sejarah penanggulangan bencana di Indonesia.
4.1 Model Sukses: BRR Aceh-Nias (2005-2009)
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias adalah gold standard manajemen bencana global.
Otoritas Penuh: BRR memiliki status setingkat kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Ia memiliki kewenangan "Single Entry Point" untuk semua bantuan donor internasional dan dana APBN.
22 Fleksibilitas Eksekusi: BRR bisa menunjuk kontraktor langsung, merekrut profesional non-PNS dengan gaji kompetitif, dan membuat keputusan cepat di lapangan tanpa menunggu persetujuan Jakarta.
Hasil: Dalam 4 tahun, BRR berhasil membangun 140.000 rumah, 1.700 sekolah, 996 gedung pemerintah, dan 3.700 km jalan.
23 Keberhasilannya terletak pada fokus dan otoritas. Pegawai BRR bangun tidur hanya memikirkan Aceh-Nias, berbeda dengan pejabat kementerian di Jakarta yang memikirkan seluruh Indonesia.
4.2 Model Bermasalah: Satgas PUPR/BNPB (Palu, Lombok, Semeru)
Pasca-Aceh, pemerintah cenderung menghindari pembentukan badan baru dan memilih membentuk Satuan Tugas (Satgas) ad hoc di bawah Kementerian PUPR.
Keterbatasan Kewenangan: Satgas Palu dipimpin oleh pejabat eselon I atau II PUPR. Mereka ahli dalam konstruksi, tetapi tidak punya wewenang atas masalah pertanahan (BPN) atau sosial (Kemensos).
Stagnasi Huntap: Ombudsman menemukan bahwa pembangunan Huntap di Palu terlambat signifikan. Penyebabnya bukan teknis konstruksi, melainkan masalah klaim lahan warga yang menolak relokasi. Satgas tidak punya kekuatan politik untuk menyelesaikan sengketa lahan ini, sehingga proyek terhenti.
10 Koordinasi Lemah: Laporan evaluasi menunjukkan bahwa koordinasi lintas sektor sering kali lemah. Di Cianjur dan Semeru, meskipun pemulihan fisik relatif lebih cepat karena skala lebih kecil, aspek pemulihan ekonomi dan sosial sering tertinggal.
24
4.3 Sintesis untuk Sumatera
Bencana Sumatera 2024-2025 memiliki skala kerusakan hunian (186.000 unit) yang lebih besar dari Aceh (140.000 unit) dan jauh lebih besar dari Palu (~68.000 unit).
Kesimpulan Komparatif: Jika Model Satgas (Model B) kewalahan menangani 68.000 rumah di Palu, logikanya model ini akan gagal total menangani 186.000 rumah di Sumatera yang tersebar di wilayah geografis yang jauh lebih luas (3 provinsi vs 1 provinsi). Skala masalah ini secara objektif menuntut kembali ke Model A (BRR) atau varian modifikasinya yang lebih kuat.
BAB V
Argumentasi Opini: Mengapa Badan Ad Hoc Adalah Keharusan
Berdasarkan data dan analisis di atas, laporan ini menyusun argumen bahwa pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumatera (BRR-Sumatera) atau Badan Otorita Pemulihan Sumatera adalah kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar. Berikut adalah empat pilar argumentasi utama:
5.1 Argumen Skala dan Rentang Kendali (Span of Control)
Kementerian PUPR dan BNPB sudah memiliki beban kerja nasional yang sangat berat, mengurus proyek strategis nasional (IKN, jalan tol) dan bencana rutin lainnya.
Overload Kapasitas: Menambahkan beban rekonstruksi 52 kabupaten/kota di Sumatera ke dalam struktur kementerian yang sudah ada akan menyebabkan bottleneck. Keputusan akan lambat karena harus antre di meja Menteri atau Dirjen yang sibuk.
Fokus Terdedikasi: Badan Ad Hoc menjamin adanya tim yang bekerja full-time dan terdedikasi 100% untuk Sumatera. Hal ini memastikan bahwa isu-isu mikro di lapangan (seperti kekurangan tukang di satu desa terpencil di Nias) mendapatkan perhatian yang sama dengan proyek besar di kota Padang.
5.2 Argumen Otoritas Lintas Provinsi dan DAS
Bencana ini disebabkan oleh kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang melintasi batas administrasi provinsi.
Ego Sektoral dan Daerah: Gubernur Aceh, Sumut, dan Sumbar memiliki otonomi masing-masing. Satgas Kementerian sering dianggap sebagai "tamu" atau intervensi pusat. Badan Otorita yang dibentuk Presiden dengan melibatkan unsur daerah dalam dewan pengarahnya dapat menjembatani ego daerah ini.
Manajemen DAS Terpadu: Pemulihan tidak boleh hanya membangun rumah, tapi juga memulihkan hulu sungai. Ini memerlukan otoritas untuk menindak tambang ilegal atau perkebunan sawit yang melanggar tata ruang di lintas provinsi.
3 Hanya badan khusus dengan mandat presiden yang memiliki keberanian politik untuk melakukan penegakan hukum tata ruang ini, sesuatu yang mustahil dilakukan oleh Satgas infrastruktur biasa.
5.3 Argumen Ketangkasan Fiskal dan Pengadaan
Mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJ) reguler terlalu kaku untuk situasi darurat yang masif.
Perpres Khusus: Badan Ad Hoc dapat diberikan payung hukum (Perpres) untuk melakukan pengadaan khusus (misalnya penunjukan langsung untuk percepatan) dengan tetap menjaga akuntabilitas melalui pendampingan BPK/KPK sejak awal.
Blokir Anggaran: Dengan menyatukan anggaran rekonstruksi dari berbagai kementerian ke dalam satu DIPA Badan Ad Hoc, pemerintah dapat mencegah tumpang tindih anggaran dan memastikan setiap rupiah terlacak.
5.4 Argumen Sosiokultural dan Tanah Adat
Wilayah Sumatera (Aceh dan Minangkabau) memiliki struktur sosial yang unik terkait tanah (tanah ulayat/tanah adat).
Pendekatan Kultural: Pemindahan penduduk (relokasi) di tanah ulayat sering memicu konflik sosial jika dilakukan dengan pendekatan teknokratis Jakarta. BRR Aceh sukses karena melibatkan ulama dan tokoh adat dalam struktur pengambilan keputusannya. Badan Ad Hoc memungkinkan perekrutan antropolog, sosiolog, dan tokoh masyarakat lokal sebagai bagian integral dari tim pemulihan, bukan sekadar konsultan luar.
BAB VI
Desain Kelembagaan dan Rekomendasi
Menyadari kekhawatiran Presiden Prabowo mengenai "gemuknya birokrasi"
6.1 Usulan Struktur: Badan Otorita Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumatera (BOPR-Sumatera)
Status: Lembaga Non-Struktural di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Durasi: Ditetapkan selama 4 tahun (2025-2029). Setelah itu, aset dan fungsi diserahkan kembali ke Pemda.
Kepemimpinan: Kepala Badan setingkat Menteri (diberikan hak keuangan dan administratif setara), didampingi oleh Wakil dari unsur daerah (Tokoh Sumatera).
Struktur Organisasi: Ramping dan miskin struktur ("Rich in function, poor in structure"). Menggunakan sistem satuan kerja (Satker) proyek, bukan birokrasi eselonering yang kaku.
6.2 Prioritas Kerja 100 Hari Pertama
Satu Data: Membentuk pusat data tunggal untuk memverifikasi 186.488 rumah rusak, menggunakan teknologi geospasial dan verifikasi berbasis komunitas untuk memotong waktu survei.
Penetapan Zona Merah: Bekerja sama dengan Badan Geologi dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk menetapkan zona terlarang hunian (No Build Zone) secara tegas dan mengikat.
Pencairan Cepat (Fast Track): Meluncurkan skema bantuan perbaikan rumah mandiri (untuk rusak ringan/sedang) dengan mekanisme transfer langsung yang disederhanakan, diawasi oleh pendamping masyarakat.
6.3 Rekomendasi Ekologis: "Build Back Better and Green"
Badan ini harus memiliki mandat "Rekonstruksi Hijau".
Setiap pembangunan infrastruktur harus disertai dengan analisis dampak lingkungan yang ketat.
Mengalokasikan minimal 10-15% dari total anggaran rekonstruksi untuk rehabilitasi ekosistem hulu (reboisasi, pembangunan dam pengendali, sabo dam).
Penegakan hukum (moratorium) terhadap izin tambang dan perkebunan baru di area tangkapan air kritis selama masa rekonstruksi.
BAB VII
Kesimpulan
Bencana banjir Sumatera 2024-2025 adalah ujian sejarah bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pilihan yang ada di depan mata sangat jelas: melanjutkan dengan pendekatan birokrasi normal yang terbukti lambat dan terfragmentasi (seperti kasus Palu), atau mengambil langkah berani dengan membentuk institusi khusus yang gesit dan berwibawa (seperti BRR Aceh).
Berdasarkan kajian komprehensif atas data kerusakan yang masif (186.000+ rumah), kerugian ekonomi yang melumpuhkan (>Rp 50 triliun), dan kompleksitas masalah tanah serta ekologi, laporan ini menyimpulkan bahwa pembentukan Lembaga Ad Hoc/Badan Otorita Rehabilitasi dan Rekonstruksi adalah sebuah keharusan, bukan pilihan.
Efisiensi sejati bukanlah tentang menghemat anggaran operasional lembaga baru, melainkan tentang seberapa cepat ekonomi rakyat bisa pulih. Setiap hari keterlambatan dalam rekonstruksi adalah kerugian ekonomi yang nyata bagi rakyat Sumatera dan Indonesia. Negara harus hadir tidak hanya dengan bantuan sembako, tetapi dengan arsitektur pemulihan yang kokoh, terintegrasi, dan memiliki visi jangka panjang. Badan Ad Hoc adalah instrumen terbaik untuk mewujudkan janji konstitusi: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman bencana yang semakin nyata.
Lampiran Data dan Referensi Pendukung
Data Kerugian dan Dampak
Korban Jiwa: 1.030 Meninggal, 206 Hilang.
6 Rumah Rusak: 186.488 Unit (Total di 3 Provinsi).
6 Fasilitas Publik: 1.600+ unit (Sekolah, Faskes, Tempat Ibadah).
6 Situs Budaya: 70 Situs Cagar Budaya Terdampak.
11 Estimasi Ekonomi: Rp 51 Triliun - Rp 68,67 Triliun.
12 Klaim Asuransi: ~Rp 567 Miliar (Hanya ~1% dari total kerugian).
14
Referensi Hukum dan Regulasi
UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
18 Peraturan Presiden (Diusulkan) untuk pembentukan Badan Otorita.
Preseden: UU No. 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias.
22
Analisis Aktor
Pemerintah Pusat (Presiden): Menolak status Bencana Nasional, menekankan kendali pusat.
4 BNPB: Fokus pada data dan koordinasi, namun terbatas wewenang eksekusi rekonstruksi.
7 Ombudsman RI: Mengkritik potensi maladministrasi dan kelambatan jika menggunakan pola lama (studi kasus Palu/Lombok).
17 NGO/Civil Society (WALHI/JPIK/Celios): Menekankan akar masalah ekologis dan dampak ekonomi, mendesak pendekatan luar biasa.
3
(Laporan ini disusun dengan mempertimbangkan seluruh data dan konteks yang tersedia per Desember 2025, sebagai masukan strategis bagi pengambil kebijakan.)
Referensi :

Comments
Post a Comment