Skip to main content

SUSU DARI LAUT - MENIMBANG PELUANG DAN RISIKO "FISH MILK" SEBAGAI ALTERNATIF SUSU DI INDONESIA


Di tengah fluktuasi pasokan susu sapi, tekanan harga, dan kebutuhan untuk memperluas akses protein murah dan bergizi bagi jutaan anak dan keluarga di Indonesia, muncul sebuah gagasan yang bagi sebagian orang terasa aneh: mengolah ikan menjadi “susu” — bukan dengan membajak biologi ikan, melainkan dengan mengekstrak dan memproses protein ikan menjadi bubuk minuman yang berfungsi mirip susu. Inisiatif yang dipopulerkan oleh organisasi seperti Berikan Protein Initiative—dengan pusat produksi di Indramayu—mengusung klaim ambisius: mengubah limbah dan hasil laut lokal menjadi produk bernilai tambah yang bisa membantu menutup kekurangan pasokan susu sapi sekaligus menyerap tenaga kerja lokal. Ide ini cepat jadi perdebatan publik: inovasi transformasional atau solusi sementara yang berisiko menimbulkan persoalan kesehatan, budaya, dan pemasaran? 

Di artikel opini ini saya ingin mengupas gagasan “fish milk” secara seimbang—mengakui potensinya, mengurai tantangan teknis dan sosialnya, serta mengusulkan langkah konkret agar jika diteruskan, upaya itu berlangsung bertanggung jawab dan bermanfaat luas.

Apa itu “fish milk” sebenarnya?

Istilah “fish milk” lebih merupakan istilah pemasaran daripada deskripsi biologis. Produk yang dimaksud biasanya dibuat dari fish protein hydrolysate (FPH): protein ikan yang dipecah (hidrolisis) menjadi peptida dan asam amino larut air, lalu dikeringkan menjadi bubuk yang dapat dilarutkan kembali menjadi minuman, diberi perisa, pemanis, dan penstabil agar menyerupai susu dalam tampilan dan tekstur. Proses hidrolisis ini umum di industri pangan dan nutraceuticals untuk menghasilkan protein bernilai tambah, tetapi ada tantangan teknis—misalnya rasa dan bau khas laut yang tidak selalu mudah dihilangkan serta kebutuhan teknologi pengolahan (mikroenkapsulasi, deodorisasi) untuk membuat produk yang bisa diterima pasar massal. PMC

Potensi manfaat — lebih dari sekadar menggantikan sapi?

  1. Keamanan pasokan protein lokal. Indonesia adalah negara maritim; ketersediaan ikan di beberapa wilayah sangat melimpah dibanding sapi perah. Mengkonversi ikan menjadi sumber protein serbaguna berpotensi mengurangi ketergantungan pada impor susu bubuk dan mengoptimalkan nilai rantai pasok perikanan. Inisiatif yang berkembang di Indramayu misalnya menempatkan produksi di pusat sumber bahan baku lokal. 

  2. Nilai tambah ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Laporan dan liputan awal menyebut potensi industri bernilai besar—angka-angka proyeksi yang dipublikasikan media internasional menyebut kemungkinan skala raksasa bila teknologi dan pasar cocok—yang berarti peluang ekonomi bagi kawasan pesisir dan pelaku usaha mikro hingga skala menengah. 

  3. Keunggulan nutrisi tertentu. Protein ikan mengandung asam amino esensial dan kadang asam lemak omega-3 (tergantung bahan baku dan proses). Untuk program pangan tertentu (mis. sekolah), produk protein ikan yang diformulasikan dapat meningkatkan asupan protein anak dengan biaya yang lebih rendah dibanding produk berbasis sapi. Namun klaim nutrisi harus dibuktikan tiap produk lewat analisis laboratorium dan uji klinis. 

Tantangan teknis dan ilmiah — bukan cuma soal “mau atau tidak mau minum bau ikan”

Inovasi pangan yang sukses harus memecahkan beberapa soal teknis kunci:

  • Rasa dan aroma: Hidrolisat protein ikan cenderung memiliki rasa pahit dan aroma laut yang kuat. Teknik lanjutan (deodorisasi, mikroenkapsulasi, adsorpsi) membantu, tetapi menambah biaya produksi dan mungkin memerlukan bahan tambahan/pemanis sehingga memunculkan kritik soal “ultra-processed food”. 

  • Alergen dan keamanan pangan: Ikan adalah alergen bagi sebagian orang. Jika produk dipromosikan untuk anak-anak (mis. program makan sekolah), perlunya penandaan jelas dan studi keamanan sangat penting. Selain itu, sumber ikan harus bebas dari kontaminan (merkuri, mikroplastik, residu). Lembaga riset nasional telah mulai melakukan studi awal terkait formulasi ini; misalnya riset tentang HPI (Hydrolyzed Protein of Fish) untuk menjadikan serbuk ikan larut air yang aman dan bergizi. 

  • Nilai gizi vs. pemrosesan: Produk yang “dipermanis” untuk menyamarkan rasa mungkin mengurangi manfaat kesehatan jika gula ditambahkan berlebih. Perimbangan nutrisi-menerima pasar adalah tantangan desain produk dan kebijakan. 

Tantangan penerimaan sosial — budaya makan, perspektif orang tua, dan politik

Di ruang publik, reaksi terhadap ide susu ikan bervariasi dari penasaran, skeptis, sampai penolakan keras. Beberapa kritik bukan sekadar soal rasa, melainkan soal nilai budaya: susu sapi sudah mapan sebagai simbol “nutrisi anak”, dan menggantinya dengan sesuatu yang “berbau laut” dapat menimbulkan resistensi konsumen—apalagi jika targetnya adalah anak sekolah. Media lokal juga mencatat sorotan soal aroma dan penerimaan masyarakat terhadap produk awal. 

Secara politik, wacana ini juga sensitif: ketika sebuah produk baru terlihat dipaksa masuk ke program publik (mis. subsidi atau program makan sekolah) tanpa uji tuntas dan komunikasi efektif, reaksi publik dapat menjadi kontra-produktif. Diskusi transparent bersama pemangku kepentingan—pemerintah daerah, dinas kesehatan, orang tua, dan ahli gizi—adalah keniscayaan.

Risiko penyalahgunaan retorika “solusi cepat” dan implikasi kebijakan

Ada dua jebakan kebijakan yang harus dihindari:

  1. Menganggap fish milk sebagai pengganti jangka panjang tanpa membenahi sektor lain. Jika negara menggunakan fish milk sebagai alasan mengabaikan investasi jangka panjang pada peternakan sapi perah, itu berbahaya. Solusi jangka pendek perlu seimbang dengan rencana meningkatkan kapasitas produksi susu sapi lokal, impor bijak, dan program nutrisi yang beragam. 

  2. Mendorong produk ke program publik tanpa bukti kuat. Memasukkan fish milk ke menu makanan sekolah atau program gizi nasional harus didahului studi keamanan pangan, uji penerimaan, uji efektivitas gizi, dan rencana penanggulangan alergi. Semua itu perlu dilakukan terbuka dan berbasis bukti.

Bagaimana membuat inovasi ini bertanggung jawab — langkah rekomendasi

Jika kita ingin memberi peluang pada inovasi makanan ini tanpa mengabaikan risiko, berikut pathway yang saya sarankan:

  1. Standar ilmu dan uji independen sebelum adopsi publik. Setiap klaim nutrisi, keamanan, dan efektivitas harus didukung studi laboratorium dan uji lapangan oleh lembaga independen (BPOM, universitas, BRIN). Produk harus melewati uji alergi dan monitoring kontaminan.

  2. Pilot terbatas dengan evaluasi terukur. Mulai dengan program pilot sukarela (mis. subsidi lokal di kabupaten tertentu), ukur penerimaan rasa, indikator gizi anak, dan efek samping. Hasil pilot harus dipublikasikan. Hindari implementasi skala besar sebelum bukti memadai. 

  3. Desain produk yang jujur dan transparan. Hindari klaim menyesatkan. Label harus jelas: bahan, informasi alergen, nilai gizi per sajian, dan rekomendasi penggunaan. Jika produk adalah pelengkap, jangan klaim sebagai pengganti ASI atau susu formula untuk bayi. 

  4. Teknologi pemrosesan yang meningkatkan mutu tanpa mengorbankan kesehatan. Investasi pada teknologi deodorisasi, mikroenkapsulasi, dan pengemasan yang menjaga kualitas tanpa menambah gula/lemak berlebih. R&D ini bisa menjadi sektor teknologi nutrisi bernilai tambah. 

  5. Keterlibatan komunitas nelayan dan rantai pasok lokal yang adil. Jika berbasis bahan baku lokal, pastikan hubungan dengan nelayan dibangun melalui kontrak adil, kepastian pembayaran, dan praktik penangkapan yang berkelanjutan. Jangan sampai produksi massal mendorong overfishing. (kebijakan perikanan berkelanjutan perlu sinkronisasi.)

  6. Rencana komunikasi publik yang baik. Kampanye edukasi yang jujur—mengakui keterbatasan sekaligus potensi—lebih efektif daripada narasi “solusi ajaib”. Libatkan organisasi orang tua, ahli gizi, dan tokoh lokal agar pesan diterima.

Kesimpulan: Inovasi perlu diuji, bukan dirayakan atau dicela sebelum waktunya

“Fish milk” adalah contoh nyata bagaimana krisis pasokan bisa mendorong kreativitas teknologi pangan. Potensinya nyata: memanfaatkan sumber daya lokal, menambah nilai ekonomi, dan mungkin memperluas akses protein. Namun potensi itu datang beriringan dengan tantangan serius—teknis, kesehatan publik, budaya, dan etika kebijakan. Mengambil jalan tengah yang bertanggung jawab berarti mendorong R&D, melakukan uji lapangan terbuka, melindungi konsumen (terutama anak-anak), dan menjaga keberlanjutan ekosistem laut serta keadilan ekonomi bagi nelayan.

Jika kita memandang inovasi pangan sebagai eksperimen sosial-biotekno-ekonomi besar, maka minimal syarat keberhasilannya bukan sekadar laba atau produksi, melainkan: apakah produk itu aman, bergizi, diterima masyarakat, dan tidak menghancurkan sistem pangan lain yang juga penting? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab secara ilmiah dan transparan sebelum “fish milk”—apapun nama akhirnya—dipakai luas dalam program publik atau dipromosikan sebagai pengganti susu tradisional.

Akhir kata: mari kita beri ruang bagi inovasi, tetapi juga tongkat ukur yang jelas agar inovasi itu melayani rakyat, bukan sekadar menjadi headline. Jika benar fish milk bisa meningkatkan gizi dan mengangkat ekonomi pesisir tanpa mengorbankan kesejahteraan konsumen dan lingkungan, maka itu patut didukung. Jika tidak, lebih bijak menolak dan mengarahkan energi pada solusi lain yang lebih aman dan berkelanjutan.

photo : www.voi.com

Comments

Popular posts from this blog

ANALISIS FUNGSI PENGAWASAN DALAM MANAJEMEN

Fungsi pengawasan (controlling) merupakan salah satu elemen penting dalam proses manajemen. Dalam siklus manajemen yang terdiri dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (leading), dan pengawasan (controlling), pengawasan berperan untuk memastikan bahwa semua aktivitas organisasi berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Fungsi ini bertujuan untuk menjaga keberhasilan operasional serta membantu organisasi dalam mencapai tujuan strategisnya. Artikel ini akan menganalisis lebih dalam fungsi pengawasan, mencakup pengertian, tujuan, jenis, proses, serta tantangan yang sering dihadapi dalam implementasinya. Pengertian Fungsi Pengawasan Pengawasan adalah proses sistematis untuk memantau, mengevaluasi, dan mengarahkan kegiatan agar sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Dalam konteks manajemen, pengawasan mencakup evaluasi kinerja organisasi, tim, maupun individu. George R. Terry mendefinisikan pengawasan sebagai proses menentukan apa yang telah...

FUNGSI ZAKAT DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM

Zakat adalah salah satu pilar utama dalam Islam yang memiliki fungsi strategis dalam sistem ekonomi Islam. Sebagai instrumen ibadah sekaligus mekanisme distribusi kekayaan, zakat berperan penting dalam menciptakan keadilan sosial, mengurangi kemiskinan, dan mendorong kesejahteraan masyarakat. Artikel ini akan membahas secara mendalam bagaimana zakat berfungsi dalam sistem ekonomi Islam, mulai dari pengertiannya, tujuan utamanya, hingga dampaknya dalam masyarakat. Pengertian Zakat Zakat secara etimologis berasal dari kata "zaka" yang berarti suci, tumbuh, dan berkembang. Dalam istilah syariat, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh seorang Muslim yang telah memenuhi syarat tertentu, untuk diberikan kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya (mustahik). Zakat mencakup zakat fitrah yang diwajibkan pada bulan Ramadan dan zakat maal yang meliputi berbagai jenis harta seperti emas, perak, hasil pertanian, dan penghasilan lainnya. Tujuan Zakat dalam E...

PEMIKIRAN YANG DIJADIKAN DASAR FALSAFAH PADA SISTEM EKONOMI KAPITALIS

Ekonomi kapitalis adalah sistem ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan distribusi, serta pada prinsip-prinsip pasar bebas. Dasar falsafah sistem ini dibangun melalui berbagai pemikiran dari sejumlah filsuf dan ekonom, yang berperan besar dalam mengembangkan teori dan praktik kapitalisme.