Program makan gratis di sekolah sering dipuji sebagai kebijakan win-win: anak kenyang, gizi terjaga, orang tua lega, dan masa depan bangsa lebih cerah. Tapi kalau kita tarik napas dan lihat lebih dekat, menyingkap data, logika, dan kepentingan, terlihat bahwa dampak sebuah program tidak pernah hitam-putih. Ada yang jelas diuntungkan, ada yang rugi, ada pula pihak yang mengambil untung tak kasat mata. Dalam opini santai ini saya ingin mengupas: siapa saja yang sebenarnya diuntungkan dari program makan gratis? Apa yang sering luput dari perbincangan? Dan bagaimana memastikan manfaatnya adil dan berkelanjutan?
Anak: Penerima Manfaat Paling Jelas, Tapi Tidak Selalu Paling Utama
Pertama-tama, anak adalah alasan perlunya program ini, mereka yang makan. Secara langsung, anak mendapat asupan kalori dan nutrisi, yang idealnya meningkatkan konsentrasi di kelas, mengurangi kelaparan, dan menurunkan angka absen karena penyakit. Untuk anak dari keluarga miskin, makan gratis bisa berarti satu kepastian harian: ada makanan yang cukup. Jadi, di permukaan, anak sekolah adalah pihak paling jelas diuntungkan.
Namun nyata atau tidaknya keuntungan bagi anak tergantung pada kualitas program. Kalau makanannya bergizi, porsinya cukup, dan konsistensinya terjaga, manfaatnya besar. Tapi kalau program hanya memberi snack rendah gizi, atau jadwalnya tidak konsisten, anak tetap kelaparan dan manfaatnya minimal. Intinya: anak jadi diuntungkan jika program dirancang dengan baik, bukan otomatis cuma karena label “gratis”.
Bahkan kalau kita melihat situasi dilapangan di mana menurut pengamatan kami sendiri bahwa, masih banyak makanan gratis yang tidak dihabisi oleh anak sekolah. Hal ini mengarah ke mubazir. Faktor penyebabnya adalah memang makanan atau lauk yang tidak sesuai dengan selera anak. Misalkan dalam satu porsi ada nasi, buah, sayur, dan ikan plus tempe. Tetapi si anak tidak selera dengan makanan ini dan akhirnya memilih hanya memakan jeruk dan tempe saja. Lebih dari ini makanan akan berakhir di tong sampah. Tentu ini mubazir.
Berangkat dari hal diatas, ada juga beberapa guru atau petugas pembagi makanan langsung berinisiatif untuk mengumpulkan makanan yang tidak akan dimakan oleh anak murid. Yang nantinya makanan ini belum tau dibawa kemana, apakah dimakan atau dibawa pulang. Disatu sisi ini baik karena menghindari prilaku mubazir tersebut.
Kasus dilapangan yang lain adalah ada juga murid yang membawa pulang makanan yang akan dimakan tersebut. Beberapa faktor karena masih kenyang atau tidak selera dan memang mau makan di rumah saja nanti. Jadi mereka berinisiatif membawa tempat makan yang nantinya akan ditempatkan makanan yang kira kira tidak mereka makan disekolah. Selanjutnya sampai dirumah mereka memakan makanan bergizi gratis tersebut.
Orang Tua: Bebas Beban atau Sekadar Ilusi Hemat?
Orang tua, apalagi keluarga berpenghasilan rendah, berpotensi merasakan manfaat ekonomi langsung. Uang yang biasanya untuk jajan bisa dialihkan ke kebutuhan lain: beras, pulsa, listrik, atau tabungan kecil. Penghematan harian Rp5.000–Rp10.000 kalau dijumlahkan selama sebulan bisa terasa signifikan.
Tapi ada beberapa “tapi” penting:
- Redistribusi Pengeluaran: Uang jajan yang hilang bisa dipakai untuk barang lain, bisa jadi lebih produktif, bisa juga buat pulsa atau kebutuhan lain yang tak kurang penting. Jadi manfaatnya tergantung pada prioritas keluarga.
- Stigma dan Pilihan Orang Tua: Ada keluarga yang menolak program karena takut anak terlihat “miskin” atau makanan sekolah dianggap kurang cocok. Jika hanya sedikit keluarga yang mau program, pengurangan pengeluaran orang tua tidak maksimal.
- Efek Samping Perilaku Anak: Anak yang tetap mendapat uang jajan meski makan gratis mungkin tetap membeli camilan. Jadi tanpa edukasi dan pengawasan, pengeluaran jajan tidak otomatis berkurang.
Jadi, orang tua diuntungkan secara potensial, tetapi realisasinya bergantung pada desain, penerimaan, dan kebiasaan keluarga.
Pemerintah dan Politikus: Untung Elektoral atau Untung Publik?
Di level kebijakan, program makan gratis bisa membawa keuntungan bagi pemerintah:
- Politik dan Citra: Program yang menyentuh kebutuhan dasar rakyat mudah dilihat dan dirasakan oleh publik. Untuk pejabat daerah atau politikus, ini bisa jadi alat populer untuk menunjukkan kepedulian. Dalam konteks kampanye, program semacam ini bisa meningkatkan image, terlihat sebagai “pemberi solusi”.
- Efisiensi Jangka Panjang: Jika program digulirkan dengan bagus dan terbukti meningkatkan gizi serta prestasi akademik, pemerintah dapat memetik manfaat jangka panjang berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Namun jangan lupa: motivasi politik bisa juga mengakibatkan program disalurkan demi citra bukan kualitas. Anggaran dipakai demi headline tanpa jaminan kontinuitas atau monitoring. Jadi pihak yang “diuntungkan” mungkin bukan publik, melainkan image politik yang sesaat.
Industri Pangan dan Pemasok: Ada Rasa Manis di Balik Kontrak
Pihak lain yang sering untung: perusahaan penyedia makanan, distributor, bahkan petani besar yang menjadi pemasok bahan baku. Ketika pemerintah membuka kontrak pengadaan untuk program makan sekolah, ada aliran uang besar yang menguntungkan perusahaan catering atau pemasok tertentu.
Keuntungan ini wajar jika proses tender dan kualitas produk diawasi ketat. Tetapi sering terjadi konflik kepentingan: kontraktor yang menang bukan karena efisiensi atau kualitas, melainkan koneksi. Itu berisiko menurunkan kualitas makanan dan membuang uang publik.
Di sisi positif, jika pemerintah mensyaratkan keterlibatan UMKM lokal atau memasukkan komponen lokal dalam tender, industri kecil, pengepul sayur, pedagang lokal, bisa mendapat keuntungan nyata. Jadi industri pangan bisa diuntungkan, entah secara positif atau negatif, tergantung tata kelola.
Pedagang Kecil di Sekitar Sekolah: Korban atau Mitra Potensial?
Kantin sekolah dan pedagang kaki lima sering menggantungkan hidup dari pembelian jajan anak sekolah. Ketika makanan gratis mengurangi pembelian di kantin, pendapatan pedagang bisa turun drastis. Di level mikro, ini nyata: bapak/ibu pedagang yang sehari-hari jualan gorengan atau es teh bisa kehilangan penghasilan.
Namun ini bukan tak teratasi. Program yang baik harus memikirkan dampak ekonomi lokal: misalnya mengubah kebijakan sehingga sebagian pengadaan makanan sekolah disuplai oleh pedagang lokal atau koperasi sekolah. Dengan begitu, pedagang tidak dikorbankan; mereka justru bisa naik kelas menjadi supplier resmi. Tanpa solusi seperti itu, pedagang kecil adalah pihak yang paling rentan dirugikan.
Sekolah dan Tenaga Pendidik: Beban Tambahan atau Peluang?
Sekolah bisa mendapatkan manfaat: murid lebih fokus, kesehatan lebih baik, suasana belajar lebih kondusif. Tapi implementasinya bisa menambah beban administrasi, mengurus logistik, menjaga kualitas makanan, mengatur distribusi. Kalau tidak diberi dukungan (SDM, dana tambahan, pelatihan), guru dan staf sekolah bisa kewalahan.
Di sisi lain, melibatkan sekolah sebagai pusat pelaksanaan bisa mendekatkan program ke komunitas dan meningkatkan kepemilikan lokal. Keuntungan untuk sekolah jelas jika ada dukungan teknis dan anggaran operasional yang memadai.
Masyarakat dan Generasi Mendatang: Investasi Besar yang Tak Terlihat Sekarang
Jika program makan gratis efektif, meningkatkan status gizi, menurunkan stunting, meningkatkan prestasi. manfaatnya bersifat generasional. Anak yang sehat belajar lebih baik, punya peluang ekonomi lebih tinggi di masa depan. Itu keuntungan masyarakat luas yang tidak langsung terlihat di neraca keuangan hari ini, tetapi berdampak besar secara makro.
Program semacam ini juga bisa mengurangi beban kesehatan publik kelak; penyakit kronis yang berkaitan dengan malnutrisi pada awal hidup bisa diminimalkan. Jadi keuntungan bagi generasi mendatang sangat signifikan, asal implementasinya konsisten dan berkualitas.
Siapa yang Paling “Sebenarnya” Diuntungkan?
Kalau harus singkat: tidak ada satu pihak tunggal yang “sebenarnya” diuntungkan. Ada kelompok yang paling terlihat diuntungkan (anak, keluarga) dan kelompok lain yang berpotensi diuntungkan atau dirugikan tergantung tata kelola (pemerintah, politikus, pedagang, pemasok, sekolah).
Namun ada dua catatan penting:
- Jika program dirancang untuk kepentingan jangka panjang publik (kualitas makanan, keterlibatan lokal, monitoring, pendidikan gizi), maka keuntungan terbesar akan jatuh pada anak dan masyarakat luas.
- Jika program dijalankan untuk pencitraan atau keuntungan pihak-pihak tertentu tanpa pengawasan, maka yang “sebenarnya” diuntungkan seringkali bukan publik, melainkan kontraktor, pemasok yang terhubung, dan politisi yang mencari simpati.
Rekomendasi Supaya Manfaatnya Nyata dan Merata
Agar program makan gratis benar-benar menguntungkan yang layak diuntungkan, perlu langkah-langkah praktis:
- Standar Gizi Jelas: Buat pedoman nutrisi yang realistis dan porsi yang cukup, bukan sekadar “gratis” tanpa kualitas.
- Tender Transparan & Keterlibatan Lokal: Prioritaskan supplier lokal dan UMKM untuk dukung perekonomian sekitar sekolah.
- Program Universal atau Mayoritas: Untuk menghindari stigma sosial.
- Pendidikan Gizi Terpadu: Libatkan guru dan orang tua agar anak tidak tetap jajan tak sehat di luar.
- Monitoring & Evaluasi Independen: Audit rutin kualitas makanan dan penggunaan anggaran.
- Perlindungan Pedagang: Buat skema integrasi pedagang kecil sebagai pemasok atau penjual makanan sehat.
- Partisipasi Komunitas: Komite sekolah harus dilibatkan dalam pengawasan dan pengambilan keputusan.
Kesimpulan: Lebih dari Soal “Gratis”
Program makan gratis adalah ide besar yang punya potensi besar , tapi juga jebakan besar. Siapa yang diuntungkan bergantung pada integritas desain dan pelaksanaan. Anak bisa jadi pihak terbaik yang diuntungkan, tetapi hanya jika kualitas dan kontinuitas dijaga. Orang tua bisa bernapas lega, tetapi bukan berarti otomatis menjadi lebih makmur. Pedagang kecil bisa dirugikan atau justru naik kelas. Dan politisi bisa mendapat pujian sementara, atau meninggalkan program yang rapuh saat periode elektoral lewat.
Intinya: jangan melihat kata “gratis” sebagai akhir dari cerita. Lihat itu sebagai awal yang menuntut tanggung jawab, dari perencanaan, pengadaan, pelaksanaan, sampai pengawasan. Kalau dilakukan dengan baik, program ini bukan hanya memberi makan perut anak, tetapi memberi nutrisi bagi masa depan bangsa. Kalau tidak , ya, cuma jadi makanan untuk politisi dan kantong kontraktor.
Photo : https://www.setneg.go.id
Comments
Post a Comment