Manusia sebagai makhluk sosial tentu menjalani dan melihat hal-hal yang terjadi disekitar kita dan semua hal yang terjadi dan berhubungan dengan manusia itu bisa dikatakan hal sosial. Kalau pada masa SMA dulu pada pelajarin sosiologi sering kita dengan Manusia adalah zoon politicon yaitu istilah yang dicetuskan oleh Aristoteles untuk menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Artinya, manusia tidak bisa hidup terisolasi dan memiliki kecenderungan alami untuk hidup bersama dalam masyarakat, berinteraksi, dan terlibat dalam urusan politik.
Sebenarnya apa sosial itu? Sosial adalah Berhubungan dengan kehidupan bersama dalam masyarakat—cara orang berinteraksi, berperilaku, dan membentuk struktur komunitas. Selanjutnya banyak hal yang muncul dan menjadi pembahasan terkait hal ini disitulah dikatakan isu sosial. Apa yang dimaksud dengan isu sosial, yaitu berhubungan dengan kehidupan bersama dalam masyarakat cara orang berinteraksi, berperilaku, dan membentuk struktur komunitas.
Sesuai dengan paragraf pembuka diatas, kali ini saya ingin berbagi pandangan pribadi tentang lima isu sosial utama yang menurut saya masih menjadi tantangan besar bagi bangsa kita. Saya menulis ini dengan gaya santai namun tetap resmi seolah kita ngobrol di warung kopi sambil berdiskusi serius. Semoga tulisan ini bisa memantik diskusi, refleksi, dan mungkin aksi nyata dari kita semua.
1. Kemiskinan dan Ketimpangan Antar Daerah
Ketika kita berjalan-jalan di kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, mudah sekali lupa bahwa masih ada saudara-saudara kita di daerah yang berjuang memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Data BPS terakhir memang menunjukkan tren penurunan angka kemiskinan nasional, tapi begitu melihat angka di Papua, Nusa Tenggara Timur, atau Maluku, rasanya seperti dua dunia yang terpisah oleh jurang lebar.
Saya pernah berkunjung ke sebuah desa di Provinsi Sumatera Utara, di mana jalanan masih tanah kuning berdebu ketika musim kemarau, dan lengket berlumpur ketika musim hujan, akses dasar seperti listrik belum ada atau listrik kadang baru menyala saat sore hari di beberapa titik, bangunan puskesmas terlihat reyot, dan, para ASN semangat bekerja tetapi ketika mau ngeprint dokumen harus menghidupkan genset (kerja dari laptop dengan baterai penuh), dan yang paling membuat saya kagum sedikit adalah untuk menuju kabupaten tersebut jalan yang bagus adalah melalui akses dari Provinsi Aceh, karena memang akses langsung dari Ibukota Kabupaten ke kecamatan tersebut masih dalam perbaikan, dan kalau masalah infrastruktur ini saya melihat sendiri perbedaan kualitas jalan antara kedua Provins, tapi itu dulu sekitar 10 tahun yang lalu. Kalau sekarang sudah pasti sebagaimana mestinya. Ada juga isu teknis terkait pendidikan dimana anak-anak semangat sekolah tapi siapa yang menyangkal kalau akses internet minim membuat mereka sulit mengerjakan tugas atau mengikuti pelajaran daring? Sementara di kota, anak-anak bisa belajar coding lewat tutorial YouTube, kursus bahasa Inggris online, atau praktik laboratorium virtual.
Menurut saya, upaya “meratakan pembangunan” tak boleh sekadar slogan. Infrastruktur dasar—jalan, jembatan, listrik, air bersih—harus jadi prioritas. Tapi lebih dari itu, perlu ada program pemberdayaan ekonomi lokal: pelatihan keterampilan sesuai potensi daerah (misal, ecotourism di Papua, agroindustri di NTT, atau pelatihan bagi tour guide), akses ke modal mikro tanpa bunga tinggi, serta kemudahan pemasaran produk lokal lewat e-commerce. Kuncinya: kolaborasi pemerintah daerah, pusat, dan sektor swasta. Kalau kita menyerah pada geografis dan birokasi, jurang ketimpangan akan terus membesar.
2. Ketimpangan Kualitas Pendidikan
Saya selalu percaya pendidikan adalah kunci masa depan. Namun, realitas di Indonesia masih jauh dari cita-cita. Sekolah swasta elite di Jakarta ibarat “oasis” berawa-rawa, lengkap dengan laboratorium sains, lapangan olahraga memadai, akses internet kencang, dan guru-guru ahli. Pelan sekolah yang berstandar internasional ini melebar ke daerah-daerah Di sisi lain, SD negeri di pelosok Kalimantan sering kekurangan guru matematika dan bahasa Inggris—apalagi guru untuk mata pelajaran produktif seperti ekonomi rumah tangga atau pertanian modern.
Misalnya, program “Indonesia Pintar” sudah membantu distribusi KIP (Kartu Indonesia Pintar), tapi tantangan utama bukan hanya soal dana. Kualitas pengajaran, ketersediaan buku pelajaran terbaru, dan pelatihan guru berkelanjutan jauh lebih krusial. Saya percaya teknologi bisa jadi solusi: platform pembelajaran daring yang dikemas menarik, modul digital berbahasa lokal, dan webinar gratis untuk guru-guru di daerah terpencil. Tapi perlu dukungan infrastruktur: jaringan listrik stabil, internet terjangkau, dan perangkat—tablet atau laptop—yang memadai.
Sebagai orang yang tumbuh besar di kota, saya kadang lupa bahwa sekadar menyalakan laptop pun bisa jadi “kemewahan” di desa. Solusinya: integrasi program pendidikan dengan peningkatan infrastruktur desa. Bangun pusat pembelajaran multi-media di balai desa yang bisa diakses semua anak, sediakan tenaga pendamping untuk mengoperasikan peralatan, dan ajak komunitas lokal (ibu-ibu PKK, karang taruna) ikut mengawasi pemanfaatannya. Pendidikan yang merata bukan utopia, tapi butuh komitmen nyata.
3. Akses dan Kualitas Layanan Kesehatan
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah salah satu kebanggaan kita, tapi kenyataannya layanan kesehatan tidak selalu menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara setara. Di kota besar, daftar antrean di puskesmas masih panjang, tapi di desa pedalaman, pasien harus menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk sekadar cek tekanan darah atau mendapat obat malaria. Bayangkan beban biaya transportasi, waktu perjalanan, dan risiko saat kondisi darurat.
Saya punya teman yang bekerja sebagai bidan desa di Sulawesi. Ia sering bekerja lembur tanpa insentif memadai, menangani ibu hamil dengan peralatan yang terbatas. Kasus stunting dan malnutrisi juga masih tinggi di beberapa wilayah, padahal pencegahannya bisa dimulai dari edukasi gizi sejak dini, penyuluhan pola asuh, dan pemantauan tumbuh kembang anak secara rutin.
Menurut saya, JKN perlu diperkuat dengan mekanisme distribusi obat dan peralatan medis yang lebih efisien—gunakan model logistik digital untuk pelacakan stok obat puskesmas secara real-time. Selain itu, kembangkan program “dokter dan perawat keliling” dengan kendaraan klinik mini yang dilengkapi alat diagnostik dasar. Jangan lupa, telemedicine bisa jadi jembatan: konsultasi dokter spesialis via video call bagi pasien di lokasi terpencil. Yang paling penting: berikan insentif dan perlindungan bagi tenaga kesehatan di desa, agar mereka merasa dihargai dan bersemangat melayani.
4. Kekerasan Berbasis Gender dan Diskriminasi
Sebagai laki-laki, saya sering merasa sulit memahami sepenuhnya pengalaman perempuan yang menjadi korban kekerasan atau diskriminasi. Namun, membaca laporan Komnas Perempuan tiap tahun membuka mata saya: masih banyak saudari kita yang mengalami KDRT, pelecehan seksual, bahkan perkawinan anak. Budaya patriarki yang mengakar membuat korban sering enggan melapor, takut stigmatisasi, atau terhambat proses hukum yang berbelit.
Saya ingat diskusi dengan teman aktivis hak perempuan yang bilang: “Reformasi hukum saja tidak cukup. Perubahan budaya harus dimulai dari rumah.” Betul sekali. Pendidikan karakter sejak dini—bahwa perempuan dan laki-laki setara—perlu diintegrasikan di sekolah dan keluarga. Media sosial bisa dimanfaatkan untuk kampanye anti-kekerasan, tapi juga harus ada sarana pelaporan mudah—misalnya, aplikasi mobile yang terhubung langsung dengan LSM dan aparat penegak hukum.
Di dunia kerja, saya melihat masih ada perbedaan upah antara karyawan laki-laki dan perempuan untuk posisi serupa, belum lagi diskriminasi saat pegawai hamil atau cuti melahirkan. Saya berharap perusahaan-perusahaan besar mau transparan soal struktur gaji dan kebijakan cuti, serta menerapkan program mentorship bagi karyawan perempuan untuk mendukung karier mereka. Bagi saya, setiap orang berhak merasa aman dan dihargai, baik di ranah publik maupun privat.
5. Pengangguran dan Pekerjaan Informal
Terakhir, bicara soal lapangan kerja. Statistik menunjukkan tingkat pengangguran terbuka sempat menurun, tapi data BPS juga mengungkap bahwa sebagian besar pekerja Indonesia masih berada di sektor informal—ojek online, pedagang kaki lima, pembantu rumah tangga, dan lain-lain—dengan jaminan sosial minim atau bahkan tidak ada. Banyak lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang akhirnya “terjebak” di pekerjaan semacam ini, karena tidak ada kecocokan lowongan formal atau persyaratan terlalu ketat.
Dari sudut pandang saya, transformasi ekonomi digital seharusnya menciptakan lebih banyak peluang berkualitas, bukan malah menambah pekerja murah tanpa perlindungan. Pemerintah dan swasta perlu bersinergi membuat program pelatihan vokasi adaptif—sesuai kebutuhan industri 4.0—serta beasiswa pelatihan intensif (bootcamp) di bidang digital marketing, programming, desain grafis, atau logistik. Selain itu, wirausaha muda butuh kemudahan akses modal (microloan tanpa jaminan tinggi), pendampingan bisnis, dan akses pasar lewat ekosistem startup lokal.
Saya juga melihat inisiatif coworking space di kota-kota kecil mulai bermunculan. Ini bagus untuk menumbuhkan ekosistem kreatif dan kolaboratif. Semoga pemerintah daerah mendukung lebih banyak ruang semacam ini—dengan subsidi biaya sewa atau fasilitas pendukung—agar talenta lokal bisa berkembang tanpa harus migrasi ke kota besar.
Penutup
Kelima isu sosial—kemiskinan dan ketimpangan wilayah, ketimpangan pendidikan, akses layanan kesehatan, kekerasan berbasis gender, serta tantangan ketenagakerjaan—adalah masalah yang saling terkait. Tidak ada satu solusi instan untuk semua, tapi saya yakin perubahan dimulai dari satu langkah kecil: kesadaran kolektif untuk peduli, kebijakan berpihak, dan sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, serta sektor swasta.
Menurut saya, sebagai generasi penerus bangsa, kita punya tanggung jawab moral untuk ikut andil dalam menciptakan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Entah itu dengan menjadi relawan, mendukung kampanye sosial, menginisiasi startup berbasis pemberdayaan, atau sekadar menyebarkan informasi yang benar di media sosial. Mari buktikan bahwa kita bukan penonton pasif, tetapi pelaku perubahan nyata.
Terima kasih sudah membaca opini panjang ini. Saya menanti diskusi dan ide-ide dari teman-teman semua—karena saya percaya, setiap kontribusi kecil akan berdampak besar bila kita bergerak bersama. Salam hangat!
Photo : WWW.AJAIB.CO.ID
Comments
Post a Comment