Skip to main content

Posts

MENJAGA ETIKA DALAM TIKTOK AFFILIATE - SALING MENGHARGAI SELLER DEMI EKOSISTEM YANG SEHAT

Pendahuluan Di era digital saat ini, TikTok tidak hanya menjadi platform hiburan belaka, tetapi juga wadah bisnis yang sangat potensial. Salah satu model bisnis yang tengah naik daun adalah TikTok Affiliate, yaitu program kerjasama antara kreator (affiliate) dengan seller (penjual produk). Kreator mempromosikan produk melalui konten TikTok dan memperoleh komisi setiap kali terjadi transaksi melalui link afiliasi mereka. Jika dikelola dengan tepat, mekanisme ini bisa saling menguntungkan: seller memperoleh jangkauan promosi lebih luas, kreator mendapat penghasilan tambahan, dan konsumen mendapatkan produk yang relevan. Namun, tanpa kerangka etika yang kuat, praktik ini berpotensi memunculkan masalah—mulai dari klaim berlebihan, persaingan tidak sehat, hingga kerusakan reputasi seller. Sebagai platform yang mengedepankan kreativitas dan interaksi audiens, TikTok Affiliate menuntut setiap pihak untuk menjalankan perannya dengan penuh tanggung jawab. Opini ini akan membahas prinsip-prins...

MENETAPKAN TUJUAN, MENJEMPUT REZEKI : CARA CERDAS MERAIH APA YANG KALIAN INGINKAN

Pikirkan dulu tujuan kalian, kemudian lakukan dan cari cara untuk mencapainya. Misalkan kalian ingin suatu barang, setelah menetapkannya, carilah jalan agar rezeki untuk memiliki barang tersebut bisa tercapai. Di tengah derasnya arus kehidupan modern, di mana setiap detik terasa berharga dan persaingan semakin ketat, banyak dari kita kerap terombang-ambing tanpa arah. Kesibukan yang padat, distraksi tiada henti, dan tekanan untuk ‘cepat kaya’ sering membuat kita mengambil langkah-langkah impulsif. Padahal, kunci utama keberhasilan sejatinya terletak pada sebuah proses sederhana namun fundamental: menetapkan tujuan yang jelas sebelum melangkah, lalu memetakan strategi untuk mencapainya. Tanpa tahapan ini, usaha kita ibarat kapal tanpa kompas; meski mesin menyala kencang, kita tetap tersesat. 1. Mengapa Tujuan Itu Penting? Fokus Pikiran dan Energi Setiap harinya, otak kita dipenuhi ribuan pikiran—mulai dari hal sepele seperti apa menu sarapan, hingga kekhawatiran seputar pekerjaan ...

KERJA HYBRID SEBAGAI SOLUSI FLEKSIBEL ATAU SUMBER KONFLIK BARU DALAM ORGANISASI?

Pandemi global COVID-19 telah mempercepat perubahan cara bekerja yang sebelumnya berjalan lambat. Salah satu bentuk perubahan paling mencolok adalah munculnya sistem kerja hybrid—sebuah model yang menggabungkan kerja dari kantor (on-site) dan kerja jarak jauh (remote). Di permukaan, kerja hybrid tampak seperti solusi ideal: memberikan fleksibilitas kepada karyawan, mengurangi biaya operasional perusahaan, dan tetap menjaga kolaborasi tatap muka. Namun, di balik fleksibilitas tersebut, kerja hybrid memunculkan dilema baru yang menantang bagi para manajer dalam menjaga koordinasi, membangun kepercayaan, serta menciptakan budaya kerja yang inklusif dan produktif. Artikel ini membahas bagaimana kerja hybrid menjadi medan tarik menarik antara potensi dan risiko, dengan menyoroti kompleksitas yang dihadapi oleh para pemimpin organisasi. Dengan pendekatan berbasis teori motivasi karyawan, budaya organisasi, dan manajemen jarak jauh, kita akan mengevaluasi: apakah kerja hybrid benar-benar sol...

AI MENGAMBIL ALIH? TANTANGAN ETIKA DAN STRATEGI ADAPTASI SDM DI ERA OTOMATISASI

Dalam dekade terakhir, perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi kekuatan disruptif yang mengubah wajah industri secara masif. Dari chatbot layanan pelanggan, sistem rekrutmen otomatis, hingga analitik prediktif dalam pengambilan keputusan bisnis, AI telah menembus hampir semua lini proses manajerial. Namun, di tengah euforia efisiensi dan produktivitas, muncul pertanyaan kritis yang semakin mendesak untuk dijawab: bagaimana nasib tenaga kerja manusia? Apakah teknologi benar-benar menggantikan manusia, atau justru mendorong lahirnya model kolaborasi baru antara manusia dan mesin? Artikel ini mengusung opini bahwa perusahaan tidak cukup hanya berinvestasi pada teknologi. Lebih dari itu, diperlukan kesadaran etis, strategi sosial, dan transformasi budaya kerja agar otomatisasi tidak menciptakan ketimpangan, melainkan menjadi katalisator pertumbuhan yang inklusif. Dengan pendekatan teori manajemen perubahan, etika bisnis, dan strategi upskilling, ...

PUBLIC SERVICE HARUSNYA PELAYANAN, BUKAN PENDERITAAN

Hai pembaca, pernahkah kamu terpikir bahwa saat kita mengurus dokumen atau menunggu layanan publik, hati kita rasanya lebih banyak dibikin ngos-ngosan daripada senang? Iya, kepingin merasa dilayani, yang ada hanya berjibaku dengan antrean panjang, birokrasi njelimet, hingga rasa frustrasi yang bisa bikin hari kita berantakan. Padahal konsep dasar Public Service (pelayanan publik) seharusnya menempatkan warga sebagai subjek yang dilayani, bukan sebagai objek penderita. Dalam opini santai tapi tetap ngena ini, kita akan membedah kenapa pelayanan publik sering berubah menjadi penderitaan, dan bagaimana seharusnya kita membalikkan paradigma itu—dengan sentuhan teori yang ringan namun bermakna. Mari kita awali terlebih dahulu, apa itu Pelayanan publik? Kita kupas teorinya dulu sedikit. Dimana Menurut Lester Salamon (2002) dalam teorinya tentang pemerintahan modern, adalah serangkaian aktivitas yang diselenggarakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar warga. Sederhananya, dari urusan KT...

PELAYANAN PUBLIK DI ERA DIGITAL, CEPATKAH ATAU SEKADAR GAYA?

Transformasi digital telah menggerus hampir setiap aspek kehidupan modern, tak terkecuali bidang pelayanan publik. Pemerintah di berbagai tingkatan berlomba menerapkan inovasi teknis—mulai dari e-government, portal satu pintu, hingga aplikasi seluler—dengan janji utama: efisiensi dan efektivitas dalam melayani warga negara. Namun, muncul pertanyaan mendasar: sejauh manakah penerapan digitalisasi ini benar-benar mempercepat akses dan kualitas layanan publik, dan sejauh manakah ia sekadar memenuhi tuntutan tren tanpa perubahan substansial? Kerangka Teoritis Teori E-Governance E-governance menekankan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendukung proses pemerintahan, meningkatkan transparansi, serta memberdayakan partisipasi publik. Menurut Heeks (2001), e-governance idealnya mempercepat alur permohonan layanan, meminimalkan interaksi tatap muka, dan menyediakan akses 24/7 bagi masyarakat. New Public Management (NPM) NPM mengadopsi prinsip manajemen sektor swas...